28 Februari 2009

Kader PKS, Belajarlah dari Mas Dikin

Bro & Sis, ada secuil kisah untuk antum nih....

Mas Dikin, demikian pria paruh baya ini biasa dipanggil. Pria sederhana yang sehari-harinya bekerja serabutan dan sebagian masyarakat menyebutnya dengan 'mbah' karena kepiawaiannya dalam pengobatan alternatif ini adalah tipe orang jalanan, mantan preman kampung. Sampai tulisan ini diposting, dia belum ikut tarbiyah (itu lho, kajian keislaman pekanan khas PKS si nomer 8 yang ada di pojok kanan atas, hehe...).
Malam itu, usai rapat evaluasi kinerja para caleg dan kader, ane bergegas mengembalikan gelas bekas minum kami. Seperti biasa jika ada rapat, warung di sekitar DPD pasti sedikit kecepretan rezeki. Kali ini giliran Warung Bakso Bang Topo yang letaknya 2 blok sebelah utara DPD.
"Mas... mas..." terdengar suara dari dalam warung memanggilku. Ane menoleh ke asal suara.
"Eh, mas Dikin... apa kabar?" sapaku kepada pria itu. Rupanya Mas Dikin sedang mbakso.
Selanjutnya usai basa-basi, dia mulai curhat. Tak tanggung-tanggung, hampir satu jam curhatnya. Padahal ane sudah ngantuk, seharian beraktifitas dan rapat-rapat yang melelahkan, bahkan sore tadi belum sempat mandi (sory nih, silakan tutup hidung... gak pa pa).
Dia mengawali cerita tentang keinginannya agar PKS mendapatkan 'kursi' di DPRD Kota Pekalongan. Paling tidak, PKS ada suaranya lah. Tidak malu-maluin. Wong secara nasional kan sudah termasuk 'partai besar', jadi di daerah juga kudu nyesuaikan, gitu dalam benak mas Dikin. Pemilu kemaren dapat satu kursi sih... Nah, tahun ini penginnya dapat satu juga (mm.... satu fraksi maksudnya, alias minimal 4 kursi). Obsesi itulah yang membuat mas Dikin tambah busy, di luar kesibukan hariannya.
Sering pulang larut malam, guna menyambangi teman-teman 'masa lalu'nya, orang-orang jalanan dan para pendukung partai "X" (sebelum ngefans sama PKS, pemilu kemaren mas Dikin adalah pecut atau tim sukses dari sebuah partai besar). Untuk apalagi kalau bukan minta dukungan, agar menjatuhkan pilihannya pada PKS. Hampir bisa dipastikan bagaimana reaksi mereka. Hampir semua orang yang diajak mas Dikin pasti akan menanyakan 'uang transport', 'amplopan' atau 'sarimi'nya ada nggak, dan sejenisnya. Itulah potret masyarakat kita (eh, di daerah antum begitu juga nggak?). Bagaimana jawaban mas Dikin?
Dengan sabar dan sambil guyonan, mas Dikin menegaskan bahwa PKS memang tidak punya uang. Jadi partai ini tidak bagi-bagi uang, karena pengin menyejahterakan rakyat, begitu jelasnya. Lho kak? Lha iya, kalau partai atau caleg yang suka bagi-bagi uang, pasti nantinya akan minta uang pada rakyat. Apa ada orang jualan, sudah habis modal banyak, mau rugi begitu saja? Pasti akan mikirkan balik modalnya kan? Syukur-syukur untung. Nah, sama dengan para caleg atau partai yang royal bagi duit itu. Kelihatannya sih sekarang mikirin rakyat, lha nanti kalau terpilih, mikirinya nyari duit banyak-banyak buat nutup utangnya!
Banyak diantara mereka yang mencibir, namun masih ada juga yang simpati. Ada juga yang oportunis, begitu malemnya diomongin, besoknya sudah nyodorin 70 nama 'pendukung' --tahu sendiri lah, ujung-ujungnya duit (yang bener aja, saya berhari-hari nguber sana-sini cuma dapet 30-an orang, eh, ini semalem bisa dua kali lipat, pikir mas Dikin). Mas Dikin langsung men-skak match orang itu. "Aku tidak butuh puluhan nama! Yang aku butuhkan cuma komitmen sampeyan, istri, dan anak atau kerabat dekat sampeyan. Cukup tiga atau lima orang saja!" tegasnya. Itu pun belum karuan toh?
Eh, ngomong-ngomong, biaya operasional mas Dikin gerilya begitu dari mana? Minta caleg atau DPD? Subhanallah... ternyata dari kocek sendiri! Mas Dikin sangat tahu diri, dia pantang nyadong ke para caleg apatah lagi DPD.
"Lha, untuk tinggalan anak istri gimana mas?" pancing ane
"Lillaahi ta'aala," jawabnya....

1 komentar:

  1. Waah...keren. Nyaleg enggak Mas Nur? Semoga 1 fraksi yo? Salam dari Bms.

    BalasHapus

Terima kasih telah mampir...