21 Juni 2011

Jamkesmas... Ooh... Jamkesmas...!!!

Mendengar kabar bahwa para koruptor yang sakit di tahanan mendapat perawatan dari pemerintah yang biaya pengobatannya menggunakan dana Jamkesmas, sungguh tersayat-sayat nuraniku. Betapa tidak, orang yang jelas-jelas merugikan negara miliaran rupiah, ketika sakit kok masih diberi santunan??? Sementara jutaan rakyat miskin lain hingga sakaratul mautnya tak serupiah pun dana untuk mereka!
Jadi teringat almarhum adik (Sinoro Puji, 37th), yang sampai ajalnya tak sempat menikmati dana Jamkesmas, padahal dia sangat membutuhkan. Karena vonis dokter, jalan satu-satunya untuk kesembuhannya adalah operasi penggantian klep jantungnya. Karena 2 dari 4 klep jantungnya bocor. Konon biayanya kurang lebih 150 juta. Sementara dia adalah seorang karyawan perusahaan swasta dengan gaji 1,7 juta dan Jamsosteknya hanya mengcover 10 juta saja. Dari mana kami menutup yang 140 juta sisanya? Memang, keseharian kami tidak termasuk keluarga miskin (alhamdulillah), namun untuk kasus ini kami jadi miskin. Usaha untuk memperoleh Jamkesmas sudah kami tempuh. Namun apa jawab Dinkes Kab. Pekalongan? "Sudah tutup Mas, tidak bisa pengajuan lagi." Dan kalau pun masih ada jatah, kami harus merekayasa agar kami termasuk keluarga penerima BLT yang nyata-nyata ini tidak bisa kami lakukan.
Kadang terpikir untuk membuat surat terbuka kepada Menkes. Tentang pengalokasian dana Jamkesmas agar lebih adil dan merata serta bisa mengcover kasus-kasus khusus seperti adik saya itu. Mungkin mekanisme pengajuannya perlu diubah, atau persyaratannya. Jadi jangan di-gebyah-uyah (dipukul rata) harus keluarga dengan ciri-ciri penerima BLT saja yang boleh menerima. Harapan kami, ke depannya alokasi dana Jamkesmas bisa lebih kasuistik, yang penting faktanya pada saat pengajuan, yang bersangkutan tidak bisa membiayai pengobatannya. Ini hal yang mudah bukan? Buktinya para koruptor saja bisa diberi...

18 Juni 2011

Usia Baligh Politik

Tadi pagi habis subuh, ikut melepas anak nomor dua yang mondok di Rumah Penghafal Al-Qur'an "Rijalul Qur'an" Gunungpati Semarang. Ustadz Zulfa (pengasuh pondok) yang biasa disapa Abi oleh para santri melepas kontingen Rijalul Quran pada Mukhoyam Pandu Keadilan Dasar I (MPKD-1) yang dilaksanakan sejak hari ini sampai besok di Bumi Perkemahan Nglimut Gonoharjo Kendal. Hah, masih usia SMP sudah diikutkan Mukhoyam? Bukankah MPKD ini salah satu kegiatan PKS?
Mungkin banyak di antara Bro & Sis yang bertanya-tanya semacam itu ya? Kok anak-anak belum usia memilih sudah diikutkan kegiatan partai, kan melanggar UU? Kalau menurut ane sih, UU-nya yang musti direvisi tuh. Hah? Justru sejak dinilah anak-anak kudu dikenalkan dengan aktivitas politik. Agar kelak ketika mereka sudah masuk pada usia baligh politik, dapat berpolitik secara benar. Tidak seperti kiprah para politikus yang banyak kita dengar selama ini.

16 Juni 2011

Selamat Jalan Adik...


Ahad, 12 Juni 2011 mungkin sekitar pukul 18.00, dirimu sendirian di sebuah ruang di RSUP Dr Kariadi Semarang, menghadapi detik-detik ajalmu. Air mata ini terus meleleh kala mengingat dirimu seorang diri menghadapi Izrail yang siap menjemput. Sementara engkau tersengal-sengal karena jantungmu yang tidak sempurna memompa darah ke seluruh tubuhmu. Dan di waktu yang sama cairan sudah memenuhi paru-parumu, sehingga menambah berat pernafasanmu.
Maafkan aku Adik, tak bisa membersamaimu kala Izrail menjemputmu...
Maafkan aku Adik, jika senantiasa crewet mengingatkanmu untuk segera tunaikan sholat, kala kau sedang moody menggarap desain2mu...
Maafkan aku Adik, tidak segera menindaklanjuti sms-mu yg naksir guru ponakanmu Irfan...
Maafkan aku... sejujurnya, masih banyak yg ingin kutuliskan...
Oh, maafkan aku adik...

**air mata ini tiba-tiba meleleh lagi...

09 Juni 2011

Dan Korban Pun Mulai Berjatuhan...

[dari aktivitas perbaikan jalan]

Pagi tadi usai nganter Jundi ke SDIT Ulul Albab kuteruskan dengan mengantar si kecil ke PAUD Al Fikri. Di pertigaan Jl. Slamet - Jl. KHM Mansyur Pekalongan kulihat ramai kerumunan orang. O, nampaknya baru saja terjadi aksiden alias kecelakaan. Masih sempat terlihat olehku genangan darah yang sangat banyak. Aku gak sempat menyaksikan korbannya. Tapi dari jejak tumpahan darahnya bisa kupastikan orang itu meninggal.
Baru siangnya kuketahui, ternyata benar, seorang petugas polisi yang pagi itu sedang mengatur lalu lintas diseruduk truk dari arah selatan. Konon kepalanya pecah. Masya Allah...
Memang sejak Jl. Wilis diperbaiki beberapa waktu lalu, arus kendaraan besar dialihkan melalui Jl. KHM Mansyur. Sehingga ruas jalan yang biasanya normal mendadak padat dengan kendaraan kelas berat. Entah untuk berapa bulan lagi aktivitas perbaikan jalan itu selesai. Yang notabene, potensi jatuhnya korban laka lantas masih mungkin terjadi. Apalagi kalau melihat progressnya, sepertinya lambat banget.
Padahal baru Senin kemarin kudengar seorang siswi sebuah SMA Swasta di Pekalongan terlindas kepalanya oleh sebuah truk di depan Masjid Syuhada atau depan monumen Pekalongan. Penyebabnya sama, karena jalan di depan monumen itu sedang dikeruk, sehingga menyebabkan bergalur-galur dan banyak kerikil. Melintaslah sepasang pelajar mengendarai sepeda motor. Karena hendak menghindari rambu penunjuk arah di tengah jalan, si pengendara membanting stangnya, namun naas, sepeda motornya malah terjatuh. Si pengendara jatuh ke arah kiri dan hanya luka ringan, sementara temannya yang membonceng jatuh ke sisi kanan dan tepat berada di kolong truk yang sedang melintas.
Aku tidak tahu, bagaimana prosedur standar dalam proyek perbaikan jalan. Namun secara mata awam kulihat, potensi musibah akibat proyek ini sangatlah besar. Coba lihat, setelah aspal jalan dikeruk, menyebabkan guratan-guratan di permukaan jalan. Ini berpotensi menggelincirkan roda sepedamotor yang sudah gundul. Belum lagi kerikil-kerikil yang berserakan dan debu yang beterbangan, sangat mengganggu para pengguna jalan. Yang aku tak habis pikir, kenapa mengeruknya tidak bertahap, separuh lebar jalan dahulu baru jika sudah selesai, separuhnya lagi. Ini tidak, selebar permukaan jalan dikeruk semua, sudah gitu, tidak langsung difinishing melapisi ulang dengan aspal hotmix...

05 Juni 2011

Selebrasi Kelulusan: yang Benar Bagaimana sih?

Corat-coret baju sampai ke rambut-rambutnya, konvoi motor dengan knalpot yang digeber habis, mengganggu kenyamanan orang lain??
Ya, benar tidaknya tergantung siapa yang melihat lah.
Bagi toko matrial, tindakan selebrasi corat coret baju sragam itu sangat bagus. Betapa tidak, gara gara mereka, omzet cat piloxnya kan naik. Hehe... Juga bagi pemilik bengkel motor, pastinya orderan bikin knalpot yang super geber itu juga lumayan. Belum lagi pasca konvoi, pasti banyak motor yang perlu diservis.
Corat coret baju itu pemubadziran!
Ah, siapa bilang?
Lha iya to, wong bajunya habis selebrasi itu tidak bisa dipakai. Dikasihkan ke panti asuhan juga tidak pantas, lagian mana boleh sekolah pakai seragam coretan?
Ah, masih bisa dimanfaatkan kok. Coba tuh kasihkan anak-anak kreatif. Baju-baju itu bakal didaur ulang. Dipotong kecil-kecil memanjang, terus dipilin-pilin dan dianyam, maka... taraaa.... jadilah keset warna-warni. Manfaat to?
Tapi, ulah mereka itu mengganggu kenyamanan orang lain. Bayangkan, gara-gara konvoi mereka, para bayi tidak bisa tidur dan orang-orang yang sedang istirahat siang jadi terganggu. Belum lagi para pengguna jalan, juga merasa terganggu.
Yah, itu musti maklum Bro & Sis, toh cuma setahun sekali. Para pemilik usaha SPBU juga seneng tuh, juga yang hanya jual bensin eceran, ikut kecipratan rezekinya lho. Berapa liter bensin tuh, yang mereka habiskan untuk muter-muter keliling kota? Lumayan kan, bagi-bagi rezeki...
Itu mungkin kompensasi karena selama masa sekolah, mereka kurang terakomodir ekspresinya. Ekspresi berkesenian, ekspresi menyalurkan hobi corat coret, ekspresi kinestetisnya juga ane rasa terkekang tuh. Jadi, yang seharusnya mereka aktif bergerak, disuruh diam dalam ruang empat persegi, bertahun-tahun lho!
Jadi menurut ane, untuk mencegah selebrasi kelulusan yang begituan, tidak cukup himbauan dari Diknas dan pejabat terkait saja. Paling juga tidak digubris, ya toh? Lihat aja, tiap tahun para pemangku kebijakan selalu bekoar-koar melarang, tapi toh tetep juga masih kita jumpai yang demikian. Lantas langkah konkretnya gimana dong? Ini butuh perombakan kurikulum! Lho? Iya, kurikulumnya diubah: harus bisa mengakomodir semua ekspresi para siswa. Insya Allah, jika semua ekspresi mereka tertampung sejak dini, maka selebrasi yang begituan gak bakalan mereka lakukan lagi... Coba aja kalau berani!