21 Juni 2015

Mengambil Hikmah dari Musibah Kebakaran

Pagi-pagi sudah dioprak-oprak istri untuk segera mengantarnya ke acara pengajian. Karena istri sudah janjian dengan jamaahnya, sepulang pengajian mau silaturahim ke keluarga korban kebakaran kemaren. Wah, musti bersegera nih.
Biar nggak diomelin ya om?
Yaaah... maklum saja, karena jerih payahnya semalaman mensortir isi lemari memilah pakaian yang masih layak pakai supaya tidak sia-sia. Kita, para suami, musti mengapresiasinya toh? Lagian, nyenengin hati istri kan pahalanya berlipat lipat tuh di bulan puasa ini... :blush:
Adalah Munari Wibowo (50), warga gang Dukuh Gudang jalan Progo RT 01 RW 03 Kota Pekalongan beserta keluarganya, terpaksa merelakan hidup menumpang di rumah pak RW. Karena tiga hari lalu rumah dan seluruh isinya ludes dilalap si jago merah saat mereka hendak sholat tarawih.
Penghidupan Munari hanya sebagai penarik becak. Dibantu istrinya yang seorang ibu rumah tangga sederhana, membuat kehidupan mereka di bawah garis kemiskinan. Alasan itulah yang menyebabkan Munari lebih memilih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Padahal jatah kompor gas dan tabung gas 3kg juga dapat.
"Tidak cukup mas, sudah saya coba," jawab ayah 7 anak ini ketika saya tanya alasan tidak menggunakan gas. "Makanya saya rela mengumpulkan kayu bakar selepas narik becak," mantan penjaga malam di sebuah kampus swasta Pekalongan ini menambahkan. Tidak tiap hari Munari mencari kayu bakar. Setelah dirasa cukup stok kayunya, ia pun konsentrasi menarik becak. "Kadang ada yang memberi (kayu-kayu sisa bangunan)," ujarnya menutup pembicaraan.
Munari merasa sudah mematikan api dengan menyiramkan air ketika hendak pergi ke mushola. Bara kecil di bawah wajan luput dari perhatiannya. Rupanya, bara yang tersisa dari aktivitas memasak sebelum berbuka puasa tadi itulah pangkal musababnya...
Malam itu, semua warga Dukuh Gudang sedang bersiap-siap pergi ke mushola. Tak terkecuali keluarga Munari. Apalagi rumah Munari hanya selisih 2 rumah dari mushola, dan dialah yang bertugas menjadi bilal.
Sesaat setelah Munari mengumandangkan iqamat, para jamaah segera merapikan shaf dan sholat isya' pun dimulai oleh sang imam. Tiba-tiba terdengar kegaduhan pada shof paling belakang. Lama-lama kegaduhan itu semakin jelas dan membuat konsentrasi jamaah buyar.
"Kebakaran! Kebakaraann!! Kebakaraaannnn!!!" teriak seseorang. Teriakan itu otomatis membubarkan prosesi sholat isya yang baru saja dimulai. Seisi mushola kontan berhamburan ke arah sumber cahaya yang lama-lama menjulang dan terang benderang.
Ada yang ngomando, yang lain ambil ember dan alat seadanya, ada yang mulai menyiram, bahkan dengan air got sekalipun. Sebagian kaum ibu malah panik dan mondar mandir tidak karuan. Pak Topo, salah satu tokoh masyarakat, langsung insiatif menelpon blangwir alias Dinas Pemadam Kebakaran.
Markas blangwir yang berjarak hanya beberapa ratus meter itu tidak membuatnya cepat datang. Entahlah, mungkin ada banyak faktor teknis ataupun birokrasi yang musti dilalui? Padahal kalau ditempuh dengan jalan kaki saja tidak sampai 10 menit.
Kurang dari setengah jam, sang api sudah melalap habis rumah Munari. Beberapa saat kemudian 4 mobil damkar tiba, namun tidak bisa langsung bekerja. Pak Topo yang tadi menelepon, langsung mendekati salah seorang petugas damkar. Oleh petugas, pak Topo diminta menelepon PLN guna memutus arus di wilayah itu. Karena sangat berbahaya jika semprotan air damkar menyentuh kabel berarus.
Tanpa buang waktu, pak Topo langsung menelepon PLN. Akhirnya setelah arus diputus, petugas damkar mulai bekerja. Karena api sudah padam sejak tadi, semprotan damkar hanya memadamkan bara yang tersisa.
Dari musibah ini, saya mendapatkan hikmah yang luar biasa:
1. Kebijaksanaan pemerintah terkadang tidak efektif dan efisien di tataran grass root.
2. Dalam kondisi force majeur, sholat wajib sekalipun boleh dibatalkan (tapi nanti tetap diulang ya..)
3. Senantiasa membawa hp dan menyimpan nomor-nomor penting, seperti nomor kantor polisi, damkar, PLN dsb, sangat berguna di saat darurat (jangan lupa, isi pulsa terlebih dahulu)
4. Jangan panik ketika terjadi kebakaran. Langkah pertama: hubungi damkar, selanjutnya: PLN. Jangan sampai damkar sudah datang tapi tidak bisa langsung bekerja.
.
Begitulah pemirsa, secuil peristiwa yang sempat saya potret. Semoga kita semua terhindar dari musibah apa pun. Namun jika pun musibah itu menimpa kita, syukur dan sabar adalah langkah terbaik supaya kita bisa langsung *move on*.
Seperti kulihat pagi tadi di raut wajah pak Munari. Beliau telah berhasil mengikhlaskan semua miliknya. Semoga Allah SWT mengganti hartamu pak Munari, dengan ganti yang banyak dan lebih baik...

17 Juni 2015

Belajar dari Mbah Gito

Mbah Gito sang penjual nasi
Waah… sudah puasa ya? Kalau begitu, bagi yang menunaikannya, saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan deh… Semoga semua amal ibadah om dan tante di bulan Ramadhan ini diterima Allah SWT dan senantiasa diberi kesehatan. Masih tetap semangat jualan to? Semoga laris dan berkah selalu ya…
Om dan tante, kemaren saya berkesempatan jalan-jalan di kota Solo. Banyak sekali pengalaman dan inspirasi yang saya dapatkan. Salah satunya, dari seorang nenek 72 tahun asal Klaten, yang masih kelihatan segar bugar dan masih semangat mengais rezeki dengan berjualan nasi di warung sederhananya.
Mbah Gito namanya. Jangan salah, itu bukan nama mendiang suaminya, melainkan nama beken nenek ini. Kulitnya yang mulai mengeriput masih terlihat cekatan melayani pembeli yang rata-rata mencari sarapan usai jalan-jalan pagi.
Warungnya sangat sederhana, hanya berukuran 3,5 x 3,5 meter persegi. Menghadap selatan, tepat di pinggir jalan Semenromo nomor 69 Cemani kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo. Di dalamnya hanya terdapat tiga meja. Satu meja utama dari kayu tua, ukuran 1 x 2 meter, berisi satu magic jar tua, tiga panci sayur; gudeg, opor dan sayur tahu kacang yang agak pedas. Di deretan depan tertata rapi wadah kotak plastik berisi barang dagangan konsinyasi; aneka gorengan, aneka kerupuk bungkus plastik kecil-kecil, dan beberapa jajanan. Berhadapan sembilan puluh derajat dengan meja utama tadi, dua meja makan dengan dua bangku panjangnya masing-masing. Di atas meja-meja makan itu terdapat kaleng kerupuk terung putih dan kuning. Juga terlihat di sana tisu gulung tertata rapi dalam dispenser plastik tuanya.
Ketika kutanya, kenapa sudah sepuh kok masih jualan? Nenek yang sudah 32 tahun menetap di Solo ini menjawab dengan bahasa Jawa halus, “Kalau hanya berdiam diri, malah bikin sakit dan pegal-pegal, Nak.” Kok tidak ikut (numpang hidup) anaknya saja, mbah? “Wah, nggak enak hidup menumpang, enakan begini, mau apa-apa terserah saya,” jelas mbah Gito yang tujuh tahun lalu ditinggal mati suaminya.
Anak-anak mbah Gito semuanya 8 orang, namun yang hidup sampai sekarang tinggal empat. Keempat anaknya sudah hidup mandiri, sebagian berjauhan di luar kota, hanya seorang yang tinggal di Solo, itu pun tidak satu rumah.
Pagi itu, saya sarapan nasi dengan sayur telur kuning plus segelas teh hangat. Selembar sepuluhan ribuku masih dapat kembalian yang cukup untuk bayar karcis bus Batik Solo Trans. Banyak hikmah kudapat dari nenek yang memiliki sepuluh orang cucu dan empat orang buyut ini. Semangatnya mencari rizki yang halal, kemandirian hidupnya dan prinsip menebar kemanfaatan buat sesama, itulah point penting yang kucatat dengan tinta tebal dalam diary hidupku…
Semoga Allah senantiasa memberkahimu mbah Gito…
.
Pemirsa, demikian acara “Jalan-Jalan cari Inspirasi” yang saya lakukan kemaren. Dari kawasan Cemani Solo, seller Bukalapak Pekalongan melaporkan

10 Juni 2015

Kopdar "Roadshow" Komunitas Bukalapak Semarang

Saya dan om Eko Juragan Lampu


Bima dan Dani, putrane om Har Juragan Tas Kamera Semarang
Putrane om Eko Rezastore