04 November 2009

Ooh... Indonesiaku...

Bro & Sis,
Kemaren ngikutin siaran live sidang MK di MetroTV... Wah, ternyata begitu bobroknya negeri kita tercinta. Betapa mudahnya bos Anggodo membeli perangkat hukum di negeri ini. Belum lagi aparat penegak hukumnya yang hanya mementingkan periuk nasinya sendiri.
Yang lebih bikin gregeten lagi, mereka dengan enteng memutar silat lidah, gak mau dengan jentel mengakui korupsinya. Lihat tuh, para petinggi Polri saling serang dan saling elak.
Belum lagi insan perfilmannya, yang dengan seenaknya sendiri gonta-ganti pasangan kayak ganti sandal saja. Hari ini pamer kemesraan dengan pasangan barunya, e besoknya sudah ke pengadilan minta cerai. Nanti baru cerai dari mantannya, sudah menggandeng yang baru. Weleh... weleh... nikah kok buat main-main. Apa bedanya dengan pelacur??
Oalah Indonesiaku....

11 Agustus 2009

Harga Selembar Ijazah

Bro & Sis,
Tempo hari ada seorang sohib yang senasih dengan ane, yakni hanya seorang lulusan SMA. Dia mengabarkan ada sebuah lowongan tenaga lepas sebagai seorang surveyor pada sebuah proyek survey koperasi. Tentu saja dalam sikon seperti sekarang ini, tawaran darinya sangat menyejukkan terdengar. Langsung ane sanggupi untuk menjadi tenaga survey.
Esoknya sohib ane tadi nge-sms, bahwa pelatihan untuk para surveyor akan dilaksanakan dua hari lagi di Semarang. Ane disyaratkan harus membawa copy ijazah, copy ktp, pasfoto dan kalkulator! Dan ketika hitungan jam mendekati hari H yang dikabarkan, beliau ngesms lagi. Isinya: kami berdua tidak jadi ke semarang, alias tidak diterima sebagai seorang surveyor, karena ijazah kami cuma SMA, sementara yang dibutuhkan adalah SE, sarjana ekonomi.
Kecewa rasanya hati ini, tentu saja. Namun ada hikmah di balik kisah ini. Yakni bahwa ternyata dunia pendidikan kita sungguh sangat mengenaskan. Betapa tidak, hanya untuk menyelesaikan pekerjaan sebagai seorang surveyor, yang disyaratkan musti sarjana! Padahal -menurut hemat ane- pekerjaannya sangat mudah: menanyai obyek survey (yang biasanya sudah ada listnya), mengisikannya ke dalam form dan minta tanda tangan atau stempel darinya. Sangat sangat sederhana, yang bahkan anak ane yang masih SMP saja pasti bisa!
Jadi, antum semua para sarjana, maukah jika selama berjibaku di bangku kuliah dengan segala kemahalan ongkos material dan moral, hanya untuk melakukan pekerjaan anak SMP?

30 Juli 2009

Sehabis Kesulitan, Pasti Ada Kemudahan!

Wah... lama nih gak posting. Maaf nih, bro & sis, koneksi internetku di rumah dah ane PHK, habis... diri ini baru kena semacam PHK juga.... hehe.... Nah, dalam kondisi 'sulit' ini, maka kebutuhan internet kudu ngalah. Iya gak? Kecuali ada gratisan (tapi mengharap pameran speedy di mall sekarang ini seperti mengharap hujan di musim kemarau).

Saat ini, ane lagi dilanda resah dan gelisah (ciee...). Sumber ma'isyah (pendapatan) terpotong. Ceritanya sih... order cetakan yang lumayan besar selama ini, kini gak ngorder lagi ke ane. Dipindah ke percetakan lain yang lebih murah (padahal speknya beda lho, dengan produk ane. Jangan digebyah-uyah dong! Eh... maaf, gak marahi antum kok... kesel aja ama situasi ini). Ya sudahlah, belum rejekinya. Ikhlakan, adalah langkah terbaik (gitu nasihat temen).

Oke, mari kita lihat dengan pikiran adem dan hati ikhlas. (menurut teorinya Erbe Sentanu, kita musti senantiasa berada pada 'zona ikhlas' tiap hari, agar apa yang kita inginkan terwujud). Ane coba apresiasi ide dari istri: mendirikan Sanggar Lukis yang Islami! Kata istriku, saat ini di Pekalongan belum ada sanggar lukis yang Islami. Semua yang ada diasuh oleh para seniman pada umumnya. Tampilan sangar, rambut gondrong, bertato, kadang berpakaian sak enak udele dewe (tidak sopan, padahal di forum 'resmi'). Yah, pokoknya, imej yang gitu-gitu deh. Nah, peluang kan, mendirikan sanggar yang islami? Tampilan parlente -misalnya- tidak ngrokok, tutur kata yang halus, mendidik (aspek suri tauladan), wis pokoke seidealnya seniman Islami.

Boleh juga tuh ide istri. Jadi, sanggarku nanti bisa 'keluar dari kerumunan' sanggar-sanggar yang sangar.... doain yah....

13 Maret 2009

Antara Pelecehan Seksual dan Poligami

Tempo hari nggak sengaja sempat ngintip acara infotainment yang menyorot 'perang' antara Kiki Fatmala dan Saipul Jamil. Masing-masing pihak bersikeras merasa dirinya paling benar. Sebelumnya diberitakan lakon Syeh Puji sang Milyarder dari kabupaten Semarang, rupanya kisah perkawinannya yang menggegerkan itu masih akan terus menuai kontroversi.

Tentang Perang Kiki-Saipul, menurut ane sih naif banget. Gimana tidak, lha wong sikonnya aja mendukung, dan kedua pihak adalah artis! Coba bro & sis lihat, (kata entertainment sih) dalam suasana sehabis shooting film (yg menurut ane adegane vulgar banget, gak pantas jadi tontonan), si Saipul nambah bonus nyentuh bokongnya Kiki, trus Kikinya naik pitam, anggap Saipul kurang ajar! Weleh... weleh... lha wong habis adegan begituan di depan kamera gak apa2 kok disentuh2 protes. Harusnya kan malah bersyukur di'bonus'i Saipul. Kalo gak mau disentuh ya jangan maen film yang gituan tho nduk... nduk...! Jadi menurutku 'insiden' itu 'wajar' terjadi.

Lha kalau tentang si Bos dari Kab. Semarang ini laen lagi critanya. Dia nikahi Ulfa secara sah, bahkan sudah memplotnya sebagai Direktur salah satu perusahaannya. Artinya, secara agama dia tidak salah, lha wong Ulfa sudah baligh kok... lagian ulfanya mau, gak nangis kayak Siti Nurbaya yg dipaksa kawin ama Datuk Maringgih. Dari sisi penghidupan, Syeh nyentrik ini juga sangat-sangat bertanggungjawab, dia sudah menyiapkan sumber penghasilan untuk Ulfa sendiri. Heran juga ane, merka itu alih-alih menegakkan UU Perlindungan Anak dan UU Ketenagakerjaan, jadinya justru cari muka doang di TV! Lha mbok, urusi tuh anak-anak korban penculikan, korban jajanan sekolah yang tidak menyehatkan, de el el. Urusi juga pengangguran yang makin lama makin tambah banyak... Gimana solusinya?
Jadi menurutku, sudahlah rumah tangga mereka gak usah diutak-utik. Itung-itung mengentaskan jumlah perawan di negeri ini (yg katanya rasio laki:perempuan gak imbang) plus pengentasan pengangguran. Yo pora?

28 Februari 2009

Kader PKS, Belajarlah dari Mas Dikin

Bro & Sis, ada secuil kisah untuk antum nih....

Mas Dikin, demikian pria paruh baya ini biasa dipanggil. Pria sederhana yang sehari-harinya bekerja serabutan dan sebagian masyarakat menyebutnya dengan 'mbah' karena kepiawaiannya dalam pengobatan alternatif ini adalah tipe orang jalanan, mantan preman kampung. Sampai tulisan ini diposting, dia belum ikut tarbiyah (itu lho, kajian keislaman pekanan khas PKS si nomer 8 yang ada di pojok kanan atas, hehe...).
Malam itu, usai rapat evaluasi kinerja para caleg dan kader, ane bergegas mengembalikan gelas bekas minum kami. Seperti biasa jika ada rapat, warung di sekitar DPD pasti sedikit kecepretan rezeki. Kali ini giliran Warung Bakso Bang Topo yang letaknya 2 blok sebelah utara DPD.
"Mas... mas..." terdengar suara dari dalam warung memanggilku. Ane menoleh ke asal suara.
"Eh, mas Dikin... apa kabar?" sapaku kepada pria itu. Rupanya Mas Dikin sedang mbakso.
Selanjutnya usai basa-basi, dia mulai curhat. Tak tanggung-tanggung, hampir satu jam curhatnya. Padahal ane sudah ngantuk, seharian beraktifitas dan rapat-rapat yang melelahkan, bahkan sore tadi belum sempat mandi (sory nih, silakan tutup hidung... gak pa pa).
Dia mengawali cerita tentang keinginannya agar PKS mendapatkan 'kursi' di DPRD Kota Pekalongan. Paling tidak, PKS ada suaranya lah. Tidak malu-maluin. Wong secara nasional kan sudah termasuk 'partai besar', jadi di daerah juga kudu nyesuaikan, gitu dalam benak mas Dikin. Pemilu kemaren dapat satu kursi sih... Nah, tahun ini penginnya dapat satu juga (mm.... satu fraksi maksudnya, alias minimal 4 kursi). Obsesi itulah yang membuat mas Dikin tambah busy, di luar kesibukan hariannya.
Sering pulang larut malam, guna menyambangi teman-teman 'masa lalu'nya, orang-orang jalanan dan para pendukung partai "X" (sebelum ngefans sama PKS, pemilu kemaren mas Dikin adalah pecut atau tim sukses dari sebuah partai besar). Untuk apalagi kalau bukan minta dukungan, agar menjatuhkan pilihannya pada PKS. Hampir bisa dipastikan bagaimana reaksi mereka. Hampir semua orang yang diajak mas Dikin pasti akan menanyakan 'uang transport', 'amplopan' atau 'sarimi'nya ada nggak, dan sejenisnya. Itulah potret masyarakat kita (eh, di daerah antum begitu juga nggak?). Bagaimana jawaban mas Dikin?
Dengan sabar dan sambil guyonan, mas Dikin menegaskan bahwa PKS memang tidak punya uang. Jadi partai ini tidak bagi-bagi uang, karena pengin menyejahterakan rakyat, begitu jelasnya. Lho kak? Lha iya, kalau partai atau caleg yang suka bagi-bagi uang, pasti nantinya akan minta uang pada rakyat. Apa ada orang jualan, sudah habis modal banyak, mau rugi begitu saja? Pasti akan mikirkan balik modalnya kan? Syukur-syukur untung. Nah, sama dengan para caleg atau partai yang royal bagi duit itu. Kelihatannya sih sekarang mikirin rakyat, lha nanti kalau terpilih, mikirinya nyari duit banyak-banyak buat nutup utangnya!
Banyak diantara mereka yang mencibir, namun masih ada juga yang simpati. Ada juga yang oportunis, begitu malemnya diomongin, besoknya sudah nyodorin 70 nama 'pendukung' --tahu sendiri lah, ujung-ujungnya duit (yang bener aja, saya berhari-hari nguber sana-sini cuma dapet 30-an orang, eh, ini semalem bisa dua kali lipat, pikir mas Dikin). Mas Dikin langsung men-skak match orang itu. "Aku tidak butuh puluhan nama! Yang aku butuhkan cuma komitmen sampeyan, istri, dan anak atau kerabat dekat sampeyan. Cukup tiga atau lima orang saja!" tegasnya. Itu pun belum karuan toh?
Eh, ngomong-ngomong, biaya operasional mas Dikin gerilya begitu dari mana? Minta caleg atau DPD? Subhanallah... ternyata dari kocek sendiri! Mas Dikin sangat tahu diri, dia pantang nyadong ke para caleg apatah lagi DPD.
"Lha, untuk tinggalan anak istri gimana mas?" pancing ane
"Lillaahi ta'aala," jawabnya....

11 Februari 2009

Menuju Swasembada Sekolah

Jika pak Anton Apriantono, menteri pertanian kita, bisa mewujudkan negeri tercinta ini berswasembada beras --dalam arti sesungguhnya-- maka mengapa kita tidak bisa mewujudkan swasembada sekolah? Yang ane maksud dengan swasembada sekolah adalah mendorong lembaga-lembaga pendidikan baik negeri apatah lagi swasta --utamanya tingkat dasar-- untuk bisa mandiri, kreatif dan inovatif serta tidak njagakke bantuan/dana dari pemerintah. Singkat kata, mewujudkan sekolah yang tahan banting di segala kondisi.

Untuk itu diperlukan tangan-tangan dingin yang kreatif. Tidak hanya itu, sang arsitek musti memiliki "nyali" untuk mendobrak. Seperti halnya pada game "9 titik" di bawah ini.
Jika diibaratkan bahwa untuk mewujudkan impian di atas adalah seperti 'tantangan' dalam game ini (yaitu Anda diminta menghubungkan kesembilan titik tersebut hanya dengan menggunakan 4 garis lurus yang nyambung terus), maka untuk menyelesaikannya Anda harus berani "keluar dari pakem". Karena jika tidak, Anda hanya akan ublak-ublek pada 9 titik itu tok. Tak akan pernah menyelesaikan masalah!

Bagaimana menyelesaikannya? Lihat ilustrasi di samping. Bahkan bagi orang-orang yang lebih kreatif, tantangan ini bisa diselesaikan dengan lebih sedikit garis (berarti lebih efektif dan efisien). Tiga garis misalnya, atau bahkan cukup sebuah garis saja!

Kembali ke pokok gagasan. Menurut ane, langkah terpentingnya adalah "jangan terpaku pada kurikulum" dari diknas. Maaf saja, konon menurut para ahli pendidikan, kurikulum pendidikan kita ini masih amburadul dan terlalu membebani siswa. Karenanya, jika kita tidak kuasa menggantinya dengan yang lebih bagus, langkah terbaik adalah 'mensiasatinya'. Dalam permisalan tadi, kurikulum kita itu ibarat 9 titik. Makanya kita musti berani melihat "bidang di luar 9 titik" untuk dapat mengurai benang kusutnya.

Langkah berikutnya adalah:

(1) Terapkan Skala Prioritas, yaitu pilah mapel menurut 'tingkat urgensinya'. Contoh: mapel yang 'tidak penting' (misalnya PKPN, IPS dan sejenisnya. Maaf lho bagi guru bidang studi ini) tidak usah diplot dalam distribusi jadual KBM, tetapi cukup diberikan berupa resume untuk siswa baca atau hafalkan sendiri di rumah. Nah, kapling waktunya kita gunakan untuk aktivitas lain yang lebih 'produktif'.

(2) Senantiasa wujudkan suasana KBM yang menyenangkan. Mengapa kita harus terpaku pada ruang kelas dan papan tulis? Sering-seringlah adakan KBM interaktif di taman sekolah misalnya. Manfaatkan lingkungan sekitar sekolah, termasuk hal-hal yang remeh-temeh, untuk mendukung penguasaan konsep siswa. Jangan hanya putus asa karena tidak memiliki ruang lab atau ruang komputer.

(3) Buatlah ekstra kurikuler yang 'produktif', yaitu yang bisa menjadikan peserta didik melejit potensinya dan memiliki kompetensi tertentu. Takut terjebak pada penjurusan? Kenapa tidak, justru sekolah yang memiliki spesialisasi tertentu akan dicari oleh konsumennya yang seide. Semakin fokus sekolah pada "value" tertentu, akan memudahkannya "keluar dari kerumunan."

(4) Tingkatkan "jam terbang" siswa sehingga semakin matang. Jangan ragu untuk mendelegasikan sepenuhnya kepada siswa.

Salah satu contoh aplikasinya adalah seperti yang telah dilaksanakan pada model Sekolah Alam. Di sana orientasinya adalah kompetensi siswa, sehingga segala aktivitas KBM yang ada diarahkan pada penguasaan konsep. Adapun metodologinya bisa 1001 cara. Di sinilah kreativitas dan keistiqomahan guru ditantang. Karena bagaimanapun kencengnya idealisme sang guru, mereka adalah produk lembaga tekstual. Yang kadang, walaupun senantiasa berusaha fokus pada konteks, sering keseleo di sana-sini.

Ane pernah mengusulkan ide pada sebuah SDIT di Pekalongan, yaitu menyelenggarakan ekstra kurikuler yang 'produktif'. Salah satunya adalah: ekskul EO. Ya, event organizer yang termasuk di dalamnya videoshooting, fotografi dan entertainment. Latar belakangnya, karena setiap tahun setidaknya ada 5 even yang pasti diselenggarakan oleh pihak sekolah: penerimaan siswa baru, masa orientasi siswa, peringatan hari-hari besar nasional dan keagamaan, kegiatan tengah semester, wisuda/pelepasan siswa. Nah, dengan dibekali skill mengelola even, maka para guru tidak perlu pusing membentuk kepanitiaan setiap hendak mengadakan acara. Untuk mengeksekusinya, serahkan saja semuanya pada siswa. Ini akan menjadikan mereka memiliki jiwa kemandirian yang luar biasa. Dan energi para guru bisa disimpan untuk hal-hal yang lebih besar lagi.

Sayangnya, pihak sekolah merasa telah kehabisan ploting waktu untuk ide ane tersebut. Sehingga usulan yang menurut mereka cukup bagus ini, ikut tertimbun dalam tumpukan proposal yang lain. Mengapa ini terjadi? Karena pihak sekolah belum memiliki "nyali" untuk keluar dari pakem. Khawatir siswa keponthal-ponthal, tidak bisa mengikuti pelatihannya. Masih gamang, jangan-jangan nanti "diapa-apakan" oleh dinas karena "mengeliminir" mapel tertentu. Takut dikucilkan dari komunitas sekolah swasta, dan sebagainya dan sebagainya.

Ane yakin, insya Allah, anak usia SD bisa menyerap ilmu apa pun yang diberikan. Asalkan dalam prosesnya betul-betul mengedepankan suasana belajar yang menyenangkan. Bukankah rentang usia SD masih dalam masa golden age? Dan tentang 'teror' oleh pihak lain, tak usahlah diacuhkan. Teruslah bekerja dengan profesional, insya Allah mereka akan melihat hasilnya. Setelah itu, ane yakin, dukungan akan terus mengalir.

Jika hal ini terwujud, maka pihak sekolah bisa menjual skill yang dimiliki siswanya, seperti halnya pada Sekolah Kejuruan yang bisa menghasilkan uang dengan mengerjakan proyek tertentu. Tentunya dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap siswa dan sekolah. Atau pun jika tidak, maka pihak sekolah telah melakukan penghematan yang cukup signifikan karena pengelolaan even-evennya tidak diorderkan ke pihak lain.

Lantas, apa yang kita tunggu?

31 Januari 2009

Hayoo... Siapa Yang Bermasalah?

Aquariumnya Jundi. Keren 'kan?

Pagi itu jam menunjukkan pukul 07.30 WIB. Saat seharusnya istriku sudah harus tiba di TKIT Ulul Albab, tempat ngajarnya. Namun karena berangkatnya harus bareng Jundi (anak keempat kami yang masih kelas B), maka terpaksa menunggunya hingga selesai sarapan.
Sementara uminya ngomel-ngomel karena bisa dipastikan terlambat tiba di sekolah, Jundi alih-alih bersegera, ee... malah asik ngopeni piaraan barunya: ikan mungil (semungil yang punya).

Ia dengan penuh kasih memindahkan ikannya ke cangkir. Sejurus kemudian dengan perlahan tangan mungilnya memunguti bebatuan kecil dan 'rumah ikan' yang terbuat dari bekas serutan pensil miliknya. Memindahkan sementara keluar aquarium. Berikutnya membuang air aquarium yang sudah kotor, membersihkannya dan mengisinya kembali dengan air bersih. Lantas ia memindahkan rumah ikan, memunguti kembali bebatuan satu per satu dan menatanya dengan rapi ke dalam aquarium yang terbuat dari bekas toples susu.

Jarum panjang sudah menunjuk ke angka 9. Jundi sambil mengulum nasi sarapannya yang baru separuh habis, asik mengamati ikan kesayangannya. Tentu saja ini membuat uminya semakin uring-uringan. Dan antum bisa menebak, reaksi selanjutnya bukan?

Bro & Sis, itulah salah satu potret kehebohan pagi hari keluarga kami. Pernahkah antum (yang sudah berkeluarga) merasakan hal serupa? Ane yakin paling tidak Antum pernah menyaksikan peristiwa seperti itu.

Menurut ane, Jundi tidak bisa disalahkan. Karena memang seperti itulah dunianya, dunia anak-anak yang penuh dengan keasyikan. Terlambat sekolah? Itu bukan masalahnya bukan? Karena bagi anak, sekolah sama halnya dengan bermain. Ia tidak bisa diikat dengan sebuah peraturan yang mewajibkan harus begini dan begitu.

Jadi, siapa sesungguhnya yang bermasalah?

29 Januari 2009

Pendidikan Anak ala Indonesia vs Jepang

Bro & Sis,

Kemaren ane menegur Bu Lik. Itu tuh, pengasuh anak kelima kami, Irfan (2 th). Habisnya dia salah sih, dalam mendidik Irfan. Ceritanya siang itu seperti biasa, sepulang menjemput istri bekerja, kami mampir ke Bu Lik untuk mengambil Irfan. Nah, begitu melihat kami datang, ia pasti berlari menghambur ke pelukan uminya.

Sayangnya siang itu Irfan terlalu kenceng berlari hingga terjatuh. Mungkin saking kangennya kali ya? Reflek si Bu Lik tadi berlari menghampiri Irfan dan menggendongnya. Lantas untuk menghentikan tangisnya, ia pun memukul-mukul lantai sambil berujar, "Kodoke nakal ya, biar ibu pukul! He kodok, jangan nakal sama Irfan lagi. Rasakan ini!" dan... plak-plok-plak-plok!

Sepintas tindakan Bu Lik itu dibenarkan. Namun sebenarnya itu salah dalam kacamata pendidikan anak. Parahnya lagi, salah kaprah itu sudah turun-temurun tujuhpuluhtujuh generasi. Bisa dibayangkan, seperti apa karakter anak itu kelak?

Pertama, ia dididik untuk mencari kambing hitam (kasihan tuh si kambing, enakan disate ya?) atau kodok hitam atau sebangsanya yang item-item untuk pelampiasan. Jadi si anak diajari bahwa 'kamu tidak salah, yang salah tuh pihak lain', anak tidak diajari tanggung jawab.

Kedua, anak dididik untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Lihat gaya Bu Lik tadi memukul lantai (kalau ini, yang seneng tukang batu, bakal dapat order betulin lantai nih).

Ketiga, 'kasih sayang' yang diberikan ketika anak dalam masalah justru mengakibatkan 'rasa ketergantungan' yang akut, tidak mendidik anak untuk mandiri.

Ane jadi ingat cerita seorang kawan yang pernah hinggap di Jepang. Di sana, penanganan kasus seperti itu sungguh berbeda. Nih, penuturannya:

Suatu sore saat saya duduk ngopi di sebuah taman kota, terdengar tangisan seorang anak balita memecah keheningan. Sang ibu yang telah beberapa langkah di depan anak tersebut segera menghentikan langkahnya, menoleh dan tetap diam (Wah, tega amat nih! Eit, jangan su'uzhon dulu!). Si anak yang tergores lututnya dan sedikit berdarah itu semakin menjadi tangisnya. Namun hal itu tidak menggoyahkan ibunya yang tetap berdiri diam di tempatnya, tak sesenti pun mendekati si anak, apatah lagi menggendongnya. Boro-boro! Pun orang-orang yang ada di taman itu, sepertinya cuek saja. Sampai beberapa lama, akhirnya sang anak berdiri sendiri, tangisnya sudah agak mereda. Kemudian si ibu mengulurkan tangannya. Sang anak pun meraih tangan ibunya dan melanjutkan perjalanannya, sambil sesekali terisak.

Subhanallah! Pantasan karakter orang Jepang itu: pekerja ulet, mandiri, tahan banting dan bertanggung jawab. Sementara kita???

28 Januari 2009

Qur'an Phone


Seorang kawan silaturrahim sambil membawa Tabloid Suara Islam Edisi 57 (19 Desember 2008 - 2 Januari 2009). Di halaman 33 terdapat iklan Qur'an Phone M880 buatan Raztel yang fiturnya hampir mendekati HP ideal yang ane citakan (lihat postingan ane yang lalu):

(1) Fitur Keislaman: Al Qur'an digital lengkap 30 juz (0thmanic font, resitasi suara Syeikh Abdurrahman As-Sudais dan Syeikh Saud Ash-Shuraim, terjemah 28 bahasa, pilihan surat dan ayat yang ditampilkan), waktu sholat dengan alarm suara adzan, arah kiblat kota-kota besar dunia, Tafsir Jalalain, Hadits Bukhari-Muslim.

(2) Fitur Mobile Phone: dual band GSM 900 DCS 1800, dual card (satu siaga), layar sentuh 2,6" TFT LCD 262K warna, kamera 1,3MP & perekam video, menu bahasa Indonesia, SMS, MMS, GPRS dan Internet, memori eksternal T-Flash 1 GB, MP3 dan MP4, radio FM, bluetooth.

Sayang, di situsnya tidak menyertakan gambar yang ada khotnya. Karena penasaran, ane hubungi nomor telpon yang tertera di iklan, minta diemail screenshot khotnya (tuh, fotonya). Ane kira khotnya Utsmani asli kayak Qur'an versi cetak punya Syamil Bandung itu. Ee taunya... yah... gitu deh... (kecewa mode is on). Gak jadi naksir nih, padahal harganya terjangkau lho, cuma 1,5 juta!

14 Januari 2009

Boikot Produk Pro-Israel


Bro & Sis,
Tempo hari di-sms ketua MPD yang isinya:

"Coca Cola, Hugges, River Island, McDonald, Qlinique, Disney, Donna Karan, Star Bucks, Gap, Garnier, Perrier, Kotex, Sanex, Jo Malone, Lancome, Libbys, Tchibo, L'oreal, Marks & Spencer, Kleenex, Maybelline, Nestle, Vittel, Revlon"

Ini adalah daftar merk yang menyumbang untuk Tentara Israel. Kita harus memboikot belanja produk-produk tersebut!

Nganter Umar Back to School


Senin [12/1] kemaren nganter Umar, anak ketigaku, by Fit [maksudnya naik suprafit kesayangan] ke Sekolah Alam Ungaran. Masya Allah, sepanjang jalan sejak keluar kota Pekalongan hingga nyampe di rumah eyangnya Umar di Sumurejo, Gunungpati, kami diguyur hujan.
Bersyukur kami di sini diguyur hujan. Yah, hujan air walaupun berpotensi mendatangkan bencana banjir dan longsor, tapi juga membawa manfaat yang banyak. Bagaimana rasanya ya, sepanjang hari diguyur hujan bom seperti yang dialami saudara-saudara kita di Palestina?
Mari Bro & Sis, kita doakan mereka agar tabah menghadapi musibah perang ini. Dan doakan pula bangsa Yahudi dan Israel agar segera menghentikan kejahatannya, jika tidak ingin diadzab oleh Allah SWT.

09 Januari 2009

Hujan Sore-Sore, Enaknya Ngapain Ya?

Zaid & Jundi sedang asyik melanglang buana dengan Google Earth (ketimbang main hujan-hujanan, bisa mriang nanti). Foto terpaksa direkayasa, karena backgroundnya gak layak tampil di sini. Berantakan abis, karena bocor dimana-mana :-(

Bro & Sis,
Sore ini hujan di langit kotaku. Brrr.... dingin udara menusuk sumsum. Apalagi bocoran yang mengucur di sana-sini, jadi tambah malas untuk beraktivitas apa pun.
Ada tips uhuy buat Antum nih. Tapi maaf, hanya untuk yang sudah punya istri atau suami saja. Jadi, yang bujangan dilarang baca posting ini! Oke, aktivitas kala hujan seperti ini, yang paling asyik adalah rekreasi berdua. Lho? Hujan-hujan kok malah disuruh rekreasi? Benar, tapi maksud ane rekreasi di rumah aja. Itu lho, 'rekreasi' yang fungsi lainnya adalah prokreasi, berdua saja (ehm... tahu kan, maksudku?). Tanpa gangguan anak-anak, mana bisa? Bisa. Alihkan saja perhatian mereka ke permainan yang mengasyikkan.
Sebagai contoh, lihat tuh Zaid dan Jundi. Mereka asyik bergoogle-earth-ria setelah ane kasih tahu cara-caranya. Zaid sibuk meng-add-placemark di tempat-tempat yang ia kenal. Mulai dari sekolahnya, rumah eyangnya, kantor DPD yang biasa kami mampir, dan lain-lain. Antum bisa lebih kreatif lagi mengalihkan perhatian anak. Hm... Jadi, jika mereka tersibukkan dengan sesuatu yang mengasyikkan, pasti takkan bergeming ke mana pun. Pastikan pintu terkunci dan... sssst... jangan brisik!
Tapi sayang, hujan gini ane gak bisa 'rekreasi' bareng istri (hiks...). Karena istri ada liqo' (pengajian) rutin di sekolahnya. Duh kaciaaan... (Nggak juga sih. Ane kan asyik main-main sama anak-anak di rumah. Sekalian memberikan pengetahuan dan eksplorasi pengalaman mereka di dunia maya. Weee....)

07 Januari 2009

Homeschooling

Bro & Sis
Beberapa hari terakhir ini ane sedang asyik mengikuti salah satu milis tentang homeschooling (HS) alias Sekolah Rumah. Sebenarnya ketertarikan ane sudah lama, hanya tempo hari sempat nyasar ke milis ini jadi sekalian aja subscribe mumpung sempat.
Pengin sekali rasanya meng-HS-kan anak-anak sejak putri pertamaku (kini kelas 7) mau masuk TK dulu. Namun keinginan menggebu itu terpaksa ku"mendarat-darurat-kan" karena istri nggak sepakat. Alasannya "masa depan" anak bakal suram, karena di Pekalongan, belum ada komunitas HS-er dan Diknas belum mensupport. (Weleh, emangnya kalau sekolah formal dijamin "masa depan cerah" apa?)
Memang kuakui, latar belakang munculnya keinginan meng-HS-kan anak-anak adalah tidak sregnya hati ini dengan kurikulum dan metode pembelajaran di sekolah formal. Sementara ada yang agak sreg (yakni di TKIT dan SDIT) namun terbentur biaya (yang menurut ukuran kocek kami termasuk mahal. Ehm, ralat, sebetulnya nggak mahal sih, hanya kami-nya aja yang belum kaya, hehe...)
Ane yakin, bahwa dengan memberi ruang yang luas kepada anak untuk mengembangkan kreativitasnya, niscaya mereka akan menemukan jatidirinya. Sayangnya kurikulum pendidikan di negara kita belum mengarah ke sana. Dan sekolah-sekolah swasta yang mulai menerapkan kurikulum yang bagus, berkecenderungan mahal di ongkos. Wah, dilematis jadinya.
Kapan ya, mutu pendidikan negeri ini bagus dengan biaya murah? (Syukur-syukur gratis.. tis.. tis...)

05 Januari 2009

Buka Tutup

Ini bukan tiru-tiru judul pameran lukisan di GOR Pekalongan yang mengakhiri tahun 2008 lalu, "Tutup Buka". Melainkan hanya kebetulan karena ane benar-benar melakukan BUKA-TUTUP, maksudnya membuka tutup kemasan dus kamera Kodak EasyShare C913 yang baru kubeli tepat malam pergantian tahun 2008 ke 2009. Dengan merogoh kocek pas-pasan --nekat nih, karena niatannya dengan punya kamdig sendiri, hoby tersalurkan dan kalau ada lomba foto bisa langsung ikutan)-- sejuta tiga ratus rebu, dapet ini nih...

Isinya sebuah kamdig C913, memori 2GB dan special gift (ada payung, diary, kalender meja, kalender dinding, tempat minum, stapler). Sayangnya gak dapet softcase. Jadi musti beli sendiri nanti. Sementara ane taruh di tas pinggang punya putri pertamaku yang kini tak dipakainya lagi.
Menganyari penggunaan kamdig ini, beberapa hasil jepretannya bisa dilihat di sini, di sana, dan di sono noh...

03 Januari 2009

Aksi Solidaritas Palestina


Bro & Sis
Kemarin ane diamanahi jadi SC pada Aksi Solidaritas untuk Palestina oleh DPD PKS Kota Pekalongan. Alhamdulillah acara berlangsung lancar dan dengan timing yang tepat.
Diawali ba'da jum'atan, kumpul di alun-alun kota Pekalongan, para peserta mulai berdatangan, berasal dari DPD kota dan kabupaten Pekalongan serta kabupaten Batang, kurang lebih 200-an orang ikhwan-akhwat dan anak-anak mereka.
Pukul 13.45 WIB iring-iringan peserta aksi mulai longmarch menyusuri perempatan Kauman, belok kiri masuk Jalan Hayam Wuruk terus finish di Monumen Perjuangan (Jalan Pemuda), menempuh jarak kurang lebih 1,5 km. Diiringi orasi dan nasyid-nasyid bernuansa perjuangan dan Palestina secara selang-seling, sembari mengedarkan kotak infaq, menjumput sumbangan dari para peserta aksi sendiri dan masyarakat sekitar sepanjang rute yang dilewati.
Selain orasi, aksi juga diisi happening art dan diakhiri pembacaan pernyataan sikap dan pembakaran simbol-simbol Yahudi dan Israel.
Alhamdulillah hujan mengguyur dengan lebatnya pas usai pembacaan doa penutup pada pukul 15.15 WIB. Dari aksi ini terkumpul dana Rp 3.563.700,- yang rencananya akan ditransfer via rekening Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP).

***
Berita terkait: ada di blognya DPD PKS Kota Pekalongan
***

Update : 7 Januari 2009

- Tambahan dari KAMMI = Rp 1.296.900,-
- dari Hamba Allah...... = Rp 225.000,-
-------------------------------------------------
Jadi Saldo Sementara... = Rp 5.085.600,-

>>> Dana dikirim via Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP):