29 Januari 2009

Pendidikan Anak ala Indonesia vs Jepang

Bro & Sis,

Kemaren ane menegur Bu Lik. Itu tuh, pengasuh anak kelima kami, Irfan (2 th). Habisnya dia salah sih, dalam mendidik Irfan. Ceritanya siang itu seperti biasa, sepulang menjemput istri bekerja, kami mampir ke Bu Lik untuk mengambil Irfan. Nah, begitu melihat kami datang, ia pasti berlari menghambur ke pelukan uminya.

Sayangnya siang itu Irfan terlalu kenceng berlari hingga terjatuh. Mungkin saking kangennya kali ya? Reflek si Bu Lik tadi berlari menghampiri Irfan dan menggendongnya. Lantas untuk menghentikan tangisnya, ia pun memukul-mukul lantai sambil berujar, "Kodoke nakal ya, biar ibu pukul! He kodok, jangan nakal sama Irfan lagi. Rasakan ini!" dan... plak-plok-plak-plok!

Sepintas tindakan Bu Lik itu dibenarkan. Namun sebenarnya itu salah dalam kacamata pendidikan anak. Parahnya lagi, salah kaprah itu sudah turun-temurun tujuhpuluhtujuh generasi. Bisa dibayangkan, seperti apa karakter anak itu kelak?

Pertama, ia dididik untuk mencari kambing hitam (kasihan tuh si kambing, enakan disate ya?) atau kodok hitam atau sebangsanya yang item-item untuk pelampiasan. Jadi si anak diajari bahwa 'kamu tidak salah, yang salah tuh pihak lain', anak tidak diajari tanggung jawab.

Kedua, anak dididik untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Lihat gaya Bu Lik tadi memukul lantai (kalau ini, yang seneng tukang batu, bakal dapat order betulin lantai nih).

Ketiga, 'kasih sayang' yang diberikan ketika anak dalam masalah justru mengakibatkan 'rasa ketergantungan' yang akut, tidak mendidik anak untuk mandiri.

Ane jadi ingat cerita seorang kawan yang pernah hinggap di Jepang. Di sana, penanganan kasus seperti itu sungguh berbeda. Nih, penuturannya:

Suatu sore saat saya duduk ngopi di sebuah taman kota, terdengar tangisan seorang anak balita memecah keheningan. Sang ibu yang telah beberapa langkah di depan anak tersebut segera menghentikan langkahnya, menoleh dan tetap diam (Wah, tega amat nih! Eit, jangan su'uzhon dulu!). Si anak yang tergores lututnya dan sedikit berdarah itu semakin menjadi tangisnya. Namun hal itu tidak menggoyahkan ibunya yang tetap berdiri diam di tempatnya, tak sesenti pun mendekati si anak, apatah lagi menggendongnya. Boro-boro! Pun orang-orang yang ada di taman itu, sepertinya cuek saja. Sampai beberapa lama, akhirnya sang anak berdiri sendiri, tangisnya sudah agak mereda. Kemudian si ibu mengulurkan tangannya. Sang anak pun meraih tangan ibunya dan melanjutkan perjalanannya, sambil sesekali terisak.

Subhanallah! Pantasan karakter orang Jepang itu: pekerja ulet, mandiri, tahan banting dan bertanggung jawab. Sementara kita???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah mampir...