17 Juni 2015

Belajar dari Mbah Gito

Mbah Gito sang penjual nasi
Waah… sudah puasa ya? Kalau begitu, bagi yang menunaikannya, saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan deh… Semoga semua amal ibadah om dan tante di bulan Ramadhan ini diterima Allah SWT dan senantiasa diberi kesehatan. Masih tetap semangat jualan to? Semoga laris dan berkah selalu ya…
Om dan tante, kemaren saya berkesempatan jalan-jalan di kota Solo. Banyak sekali pengalaman dan inspirasi yang saya dapatkan. Salah satunya, dari seorang nenek 72 tahun asal Klaten, yang masih kelihatan segar bugar dan masih semangat mengais rezeki dengan berjualan nasi di warung sederhananya.
Mbah Gito namanya. Jangan salah, itu bukan nama mendiang suaminya, melainkan nama beken nenek ini. Kulitnya yang mulai mengeriput masih terlihat cekatan melayani pembeli yang rata-rata mencari sarapan usai jalan-jalan pagi.
Warungnya sangat sederhana, hanya berukuran 3,5 x 3,5 meter persegi. Menghadap selatan, tepat di pinggir jalan Semenromo nomor 69 Cemani kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo. Di dalamnya hanya terdapat tiga meja. Satu meja utama dari kayu tua, ukuran 1 x 2 meter, berisi satu magic jar tua, tiga panci sayur; gudeg, opor dan sayur tahu kacang yang agak pedas. Di deretan depan tertata rapi wadah kotak plastik berisi barang dagangan konsinyasi; aneka gorengan, aneka kerupuk bungkus plastik kecil-kecil, dan beberapa jajanan. Berhadapan sembilan puluh derajat dengan meja utama tadi, dua meja makan dengan dua bangku panjangnya masing-masing. Di atas meja-meja makan itu terdapat kaleng kerupuk terung putih dan kuning. Juga terlihat di sana tisu gulung tertata rapi dalam dispenser plastik tuanya.
Ketika kutanya, kenapa sudah sepuh kok masih jualan? Nenek yang sudah 32 tahun menetap di Solo ini menjawab dengan bahasa Jawa halus, “Kalau hanya berdiam diri, malah bikin sakit dan pegal-pegal, Nak.” Kok tidak ikut (numpang hidup) anaknya saja, mbah? “Wah, nggak enak hidup menumpang, enakan begini, mau apa-apa terserah saya,” jelas mbah Gito yang tujuh tahun lalu ditinggal mati suaminya.
Anak-anak mbah Gito semuanya 8 orang, namun yang hidup sampai sekarang tinggal empat. Keempat anaknya sudah hidup mandiri, sebagian berjauhan di luar kota, hanya seorang yang tinggal di Solo, itu pun tidak satu rumah.
Pagi itu, saya sarapan nasi dengan sayur telur kuning plus segelas teh hangat. Selembar sepuluhan ribuku masih dapat kembalian yang cukup untuk bayar karcis bus Batik Solo Trans. Banyak hikmah kudapat dari nenek yang memiliki sepuluh orang cucu dan empat orang buyut ini. Semangatnya mencari rizki yang halal, kemandirian hidupnya dan prinsip menebar kemanfaatan buat sesama, itulah point penting yang kucatat dengan tinta tebal dalam diary hidupku…
Semoga Allah senantiasa memberkahimu mbah Gito…
.
Pemirsa, demikian acara “Jalan-Jalan cari Inspirasi” yang saya lakukan kemaren. Dari kawasan Cemani Solo, seller Bukalapak Pekalongan melaporkan