05 Juni 2011

Selebrasi Kelulusan: yang Benar Bagaimana sih?

Corat-coret baju sampai ke rambut-rambutnya, konvoi motor dengan knalpot yang digeber habis, mengganggu kenyamanan orang lain??
Ya, benar tidaknya tergantung siapa yang melihat lah.
Bagi toko matrial, tindakan selebrasi corat coret baju sragam itu sangat bagus. Betapa tidak, gara gara mereka, omzet cat piloxnya kan naik. Hehe... Juga bagi pemilik bengkel motor, pastinya orderan bikin knalpot yang super geber itu juga lumayan. Belum lagi pasca konvoi, pasti banyak motor yang perlu diservis.
Corat coret baju itu pemubadziran!
Ah, siapa bilang?
Lha iya to, wong bajunya habis selebrasi itu tidak bisa dipakai. Dikasihkan ke panti asuhan juga tidak pantas, lagian mana boleh sekolah pakai seragam coretan?
Ah, masih bisa dimanfaatkan kok. Coba tuh kasihkan anak-anak kreatif. Baju-baju itu bakal didaur ulang. Dipotong kecil-kecil memanjang, terus dipilin-pilin dan dianyam, maka... taraaa.... jadilah keset warna-warni. Manfaat to?
Tapi, ulah mereka itu mengganggu kenyamanan orang lain. Bayangkan, gara-gara konvoi mereka, para bayi tidak bisa tidur dan orang-orang yang sedang istirahat siang jadi terganggu. Belum lagi para pengguna jalan, juga merasa terganggu.
Yah, itu musti maklum Bro & Sis, toh cuma setahun sekali. Para pemilik usaha SPBU juga seneng tuh, juga yang hanya jual bensin eceran, ikut kecipratan rezekinya lho. Berapa liter bensin tuh, yang mereka habiskan untuk muter-muter keliling kota? Lumayan kan, bagi-bagi rezeki...
Itu mungkin kompensasi karena selama masa sekolah, mereka kurang terakomodir ekspresinya. Ekspresi berkesenian, ekspresi menyalurkan hobi corat coret, ekspresi kinestetisnya juga ane rasa terkekang tuh. Jadi, yang seharusnya mereka aktif bergerak, disuruh diam dalam ruang empat persegi, bertahun-tahun lho!
Jadi menurut ane, untuk mencegah selebrasi kelulusan yang begituan, tidak cukup himbauan dari Diknas dan pejabat terkait saja. Paling juga tidak digubris, ya toh? Lihat aja, tiap tahun para pemangku kebijakan selalu bekoar-koar melarang, tapi toh tetep juga masih kita jumpai yang demikian. Lantas langkah konkretnya gimana dong? Ini butuh perombakan kurikulum! Lho? Iya, kurikulumnya diubah: harus bisa mengakomodir semua ekspresi para siswa. Insya Allah, jika semua ekspresi mereka tertampung sejak dini, maka selebrasi yang begituan gak bakalan mereka lakukan lagi... Coba aja kalau berani!