03 Desember 2008

Belajar dari Kampanye Obama (Bagian 3)

Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam. Suasana stadion mulai penuh. Sekitar 15 ribu massa mulai mengambil tempat duduk di tribun. Sedangkan ratusan supporter fanatik terlihat memenuhi pelataran lapangan depan panggung. Sementara ribuan lainnya masih mengantri di luar.

Tak ada kegiatan yang mencolok di stadion. Tak ada live music sebagaimana panggung kampanye politik di Indonesia. Ataupun acara bagi-bagi kaos dan doorprize. Hanya musik-musik pop yang diperdengarkan dari sound system stadion. Dan sesekali tampak Matteo Highem mengomando yel-yel, menghangatkan suasana. Sementara sebagian besar lainnya asyik mengobrol, menikmati musik background, atau sekedar mengambil foto-foto lewat kamera digital atau ponsel yang dibawanya.

Yang tampak sibuk tim kampanye Obama di lapangan. Para petugas event tampak telah siap di posisi masing-masing. Petugas keamanan berjas lengkap tampak berjaga di sudut-sudut lapangan. Rapi dan berdasi layaknya eksekutif muda. Petugas media relations, fotographer, videographer, stage manager, juga tampak standby di posisi sekitar panggung. Yang unik, seorang petugas disiapkan di sisi kiri panggung khusus untuk menerjemahkan pidato kampanye dalam bahasa isyarat untuk audiens yang tunarungu.

Layar besar stadion kemudian menarik perhatian massa. Video perjalanan karir politik Obama pun ditayangkan. Juga video-video klip Obama dalam balutan musik yang menghentak. Suasana pun mulai terbangun. Tepat pukul 7.15 musik berganti dengan genderang drum bertalu-talu. Bendera-bendera universitas raksasa berwarna kuning, bergambar koboi kemudian muncul dan dibawa berlari mengelilingi pelataran stadion. Di belakangnya maskot University of Wyoming, sang koboi Joe berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik country. Suasana benar-benar meriah. Massa spontan berdiri dan bertepuk tangan panjang.

Tak berapa lama, salah seorang tim kampanye naik panggung. Berputar-putar layaknya peragawan, menyapa audiens. Namun tak berapa lama dia di atas. Kurang lebih sepuluh menit saja. Benar-benar singkat, tanpa banyak basa basi, tanpa banyak sambutan sana sini. Dan langsung saja, dia perkenalkan, sang kandidat yang ditunggu-tunggu telah tiba di pintu masuk samping kiri panggung.

Spontan perhatian massa tertuju ke pintu yang dituju. Dengan langkah tegap, Obama melangkah masuk. Senyum lebar dia tebar ke seantero penjuru stadion. Sang senator tak langsung menuju panggung. Dia sapa massa di sekitarnya, bersalaman dengan mereka, berbincang singkat, dan melambaikan tangan. Kontan massa berebut hanya sekedar untuk mengambil foto atau bersentuhan tangannya. Massa benar-benar histeris, mirip para fans berat yang bertemu selebritis pujaaannya. Obama benar-benar menghipnotis mereka dengan pesonanya. Namun suasana tetap tertib, dan sepuluh menit kemudian politisi muda ini pun naik panggung. Dia tak langsung bicara. Hanya senyumnya yang mengembang, dan lambaian tangannya yang terus terangkat ke udara. Dia terus bergerak memutari panggung, kembali menyapa massa, menebarkan pesonanya.

Tampaknya Obama mengerti betul psikologi massa. Dia tak banyak bicara, tapi bahasa tubuh dan paralinguistiknya, sangat kuat untuk mempengaruhi massa. Entah dia pernah membaca atau tidak riset Albert Mehrabian yang menyatakan 93 % komunikasi lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa non verbalnya, yang jelas malam ini dia betul-betul menguasainya. Jas hitam yang dipakainya semakin menegaskan dirinya sebagai orang kuat bagi rakyat Amerika. Tatapan matanya yang tajam, seperti mencerminkan dia pemimpin yang visioner. Senyumnya yang kelihatan lebih tulus, semakin meyakinkan para pendukungnya dia adalah politisi yang jujur dengan janji-janjinya. Jujur dan komitmen untuk membawa perubahan dalam politik Amerika ke depan yang sudah didominasi ambisi pribadi keluarga Bush.

Malam ini, Obama tak bicara banyak. Dia hanya mengulang ulang visinya untuk perubahan dan janjinya untuk memperbaiki ekonomi Amerika dengan platform baru di bidang kesehatan. Serta komitmennya untuk menarik pasukan dari Irak jika terpilih menjadi presiden di Negara superpower ini. "Saya akan tarik langsung pasukan AS di Irak begitu saya terpilih menjadi presiden," janji Obama di hadapan sekitar 20 ribu orang yang memadati stadium indoor terbesar di negara bagian kaya batubara dan minyak ini. Spontan teriakan "Yes We Can, Yes We can" terdengar membahana di stadium menimpali janji tersebut.

Obama juga kembali mengkritik calon presiden Partai Republik John Mc Cain yang bersikeras meneruskan tradisi perang di Irak. Menurut Obama, perang di Irak tidaklah seharusnya terjadi. Kehadiran Al-Qaeda di sana justru dipicu setelah kedatangan AS untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein. "Perang di Irak telah menghabiskan ratusan milyar dolar uang rakyat. Dana besar yang seharusnya bisa kita alihkan untuk memperbaiki pembangunan ekonomi AS dan kesehatan masyarakat," tandasnya. Sesekali Obama juga melontarkan joke-joke segar dalam pidatonya. Utamanya yang terkait dengan situasi politik saat ini. Sehingga suasana menjadi lebih segar. Relatif memang tak ada yang baru dalam isi kampanyenya. Namun cara membawakannya yang sistematis, ringkas, to the point, dengan nada dinamis, yang kadang merendah ketika bericara kondisi lesu sekarang, dan meninggi ketika memberikan janji perubahan, membuat setiap kampanyenya selalu terlihat berbeda.

Penampilanya yang begitu percaya diri didukung oleh setting event yang tepat dalam mengantarkan pesan, membuat penampilan Obama begitu mempesona di layar kaca maupun di foto halaman depan surat kabar. Sehingga image Obama semakin kuat di media. Sampai-sampai saat ini media-media di Amerika dituduh bias dalam pemberitaan kandidat persaingan kandidat presiden Partai Demokrat. Mereka cenderung dianggap lebih menguntungkan Obama daripada Hillary.

Tim kampanye Obama mungkin mengerti betul apa yang disampaikan oleh pakar komunikasi Marshall Mc Luhan bahwa "medium is the message". Sehingga benar-benar mengemas medium dalam hal ini, event kampanye dan faktor Obama sebagai message tersendiri. Mereka totalitas dalam mengemas even kampanye terbuka sebagai alat promosi yang efektif. Campaign Manager, creative director, ghost writer, spin doctor, dan event management crew dalam tim kampanye Obama mampu bersinergi satu sama lain menghasilkan replikasi pesan yang kuat bagi bagi publik Amerika, bahwa Obama orang yang tepat untuk perubahan. Sementara di sisi lain, Obama pun tangkas untuk memainkan "management of impression"nya, sehingga menghasilkan personal branding tersendiri yang membedakan dengan karakter pesaingnya. Dalam dunia political marketing, faktor pembeda ini menjadi sangat krusial untuk mengeluarkan kandidat yang dipasarkan dari kerumunan. Sehingga massa bisa mudah mengenalinya dibandingkan dengan pesaing yang lain.

Hanya sekitar 25 menit saja Obama di atas berpidato. Selebihnya dia turun gelanggang, kembali menyapa para pendukungnya. Kali ini pria yang sering disepadankan dengan tokoh legendaris Martin Luther King ini lebih berlama-lama menebarkan pesona, melempar senyum ke sana kemari, dan menjulurkan tangan menggapai para pendukungnya . Bahkan ayah dari dua anak perempuan Malia dan Natasha ini, sempat memangku seorang bayi kecil yang dibawa ibunya. Si ibu yang tak menyangka mendapatkan kehormatan demikian begitu sumringah, begitupula ribuan ibu lainnya yang menyaksikan momentum ini. Ehm.. mungkin dia berupaya menarik pemilih perempuan khsususnya ibu-ibu yang merupakan pangsa besar Hillary.

Obama pun terus berputar di sekeliling tribun bawah diiringi teriakan yang mengelu-elukan namanya. Massa terus berdesakan untuk bisa bersalaman dengannya. Seorang gadis kulit putih tiba-tiba saja menyeruak dari kerumunan ke arah saya yang telah berdiri di dekat panggung. "Jangan pegang tanganku, jangan pegang tanganku. Aku telah salaman dengan Obama," teriaknya dengan gembira sambil berusaha melindungi tangan kanannya dari massa yang masih menyemut. Massa akhirnya baru berangsur pulang setelah Obama benar-benar hilang dari pandangan mata ditelan pintu keluar stadion.

[tammat]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah mampir...