03 Desember 2008

Belajar dari Kampanye Obama: Event Management Tak Perlu Wah, Yang Penting Pesan Sampai (Bagian 1)

Bro & Sis, memenuhi janji tempo hari, ini ane posting "Sepenggal Episode Kampanye Barack Obama". O ya, postingan ini merupakan e-mail dari temen ane, Agung SB yang kuliah di University of Wyoming, Amrik, dan kebetulan sempat menyaksikan langsung. Jadi bukan pengalaman ane pribadi. Selamat menyimak, semoga bermanfaat...
---------------------------------------------------------------------------------------------

Waktu sudah menunjukkan pukul 2.50 PM Mountain Time. Namun Profesor Cindy Price, dosen pembimbing kami dalam tour kelas mata kuliah "Management of Promotion" belum juga memberi tanda-tanda akan mengakhiri kunjungan di Barnhart Communication, sebuah advertising agency terkemuka di Denver, ibukota Negara bagian Colorado, AS. Sebelumnya dia berjanji, kita semua akan meninggalkan agency yang menangani promosi wisata Negara bagian Wyoming itu, tempat saya tinggal sekarang, tepat pukul 3.00. Karena semua ingin segera bergegas pulang, menyaksikan langsung sang penyebar virus "harapan" senator Barrack Obama beraksi dalam seri kampanye konvensi kandidat Presiden dari Partai Demokrat di stadion universitas kami, University of Wyoming, Jum'at (8/3) pukul 7.15 malam ini.

Sebagaimana mayoritas masyarakat AS lainnya, semua ingin menjadi saksi sejarah bagaimana politisi asal Illinois yang pernah melewatkan masa kecilnya di kawasan Menteng, Jakarta itu menyapa publik Laramie, Wyoming, sebuah kota kecil berpenduduk 26 ribu jiwa di kawasan pegunungan Rocky Mountain yang super dingin. Momentum ini begitu dinanti oleh warga. Apalagi sudah lebih dari 34 tahun, Laramie tak pernah kedatangan politikus kelas nasional. Terakhir kali mantan presiden John F Kennedy-lah yang berkampanye di sini tanggal 25 September 1963 silam, atau sekitar 2 bulan sebelum kematiannya yang tragis.

Kampanye kali ini menjadi semakin menarik, mengingat Wyoming, bukan lah basis pendukung Demokrat. Sebagai wilayah koboi di daerah pedalaman Amerika, Negara bagian dengan berpenduduk terkecil ini (hanya 515 ribu penduduk dengan luas wilayah kira-kira sebesar provinsi papua) mempunyai garis politik yang konservatif, bukan liberal yang merupakan haluan Partai Demokrat. Inilah kandangnya Partai Republik.
Namun fenomena Obama mengubah itu semua. Beberapa pekan sebelumnya, supporter kandidat presiden kulit hitam pertama ini, membuka kantor di pusat kota Laramie, suatu hal yang tak pernah terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Maka ramai-ramailah orang mendaftar sebagai relawan. Laramie, kota yang tenang dan damai menjadi hiruk pikuk, demam politik.

Dan tak dinyana pula, dua hari lalu tersiar kabar Obama akan datang langsung. Begitu pula dengan kubu pesaingnya Hillarry yang mengirimkan sang suami mantan presiden Bill Clinton yang menggelar kampanye sehari sebelumnya di hall pertemuan yang lebih kecil. Inilah buah dari persaingan ketat kedua kubu Partai Demokrat yang sama-sama tak mau kehilangan satu delegates (utusan partai) pun dalan konvensi nanti. Dan warga jelas bergembira, kota mereka diperhitungkan.

"Hei Agung, ayo lekas naik ke Van segera. Kamu tak mau ketinggalan kan?" teriak Prof Price, begitu saya memanggilnya, membuyarkan lamunan.
"Apakah kamu menikmati tour ini?" lanjutnya. Berkali-kali dia bertanya senada untuk memastikan saya enjoy dalam kelas dan tour ini. Mungkin karena saya satu-satunya mahasiswa internasional yang berasal dari jurusan Ilmu politik yang kebetulan tertarik untuk mengambil mata kuliah yang senyatanya berada di jurusan ilmu komunikasi ini. Sehingga mungkin professor muda ini merasa berkewajiban agar saya kerasan ada di kelasnya.

"Tentu Prof Price, ini pengalaman yang luar biasa. Disini saya jadi banyak belajar bagaimana para profesional di bisnis kampanye ini bekerja. Di perusahaan Public Relations yang kita kunjungi tadi pagi, juga saya jadi tahu banyak bagaimana mereka mengelola isu media untuk para klien. Suatu hal yang menarik bagi riset saya," timpal saya yang memang mengambil tema thesis tentang model kampanye Amerika khususnya di bidang politik dibandingkan dengan model kampanye parpol di Indonesia.

Yah, dua hari ini memang saya belajar banyak bagaimana para professional PR, creative director, ghost writer, spin doctor, event management dan awak bisnis kampanye lainnya bekerja. Mereka sungguh bekerja dalam framework yang jelas dan terukur. Dan mempunyai iklim kebebasan yang kuat untuk berekspresi. Tak heran, kalau produk-produk kampanye PR dan advertising kelas wahid datang dari Negara adidaya ini. Amerika menjadi kiblat model kampanye dunia.

Sungguh tak sabar saya segera menjejakkan kaki di Laramie. Walaupun van yang kami tumpangi sudah dipacu dengan kecepatan rata-rata 125 km jam di atas jalan interstate (semacam jalan tol penghubung antar Negara bagian) yang diselimuti salju tipis, perjalanan terasa lambat. Baru dua setengah jam kemudian saya sampai di kampus.

Tak disangka, antrian di depan stadion indoor kampus tempat kampanye sudah mengular hampir 4 kilometer. Padahal jam baru menunjukkan pukul 5.45 sore, berarti masih sekitar satu setengah jam lagi acara pembukaan dimulai. Bahkan, kata seorang rekan, massa sudah mengantri sejak pukul 3 sore tadi, walaupun pintu stadion sendiri baru dibuka pukul 5.00. Massa memang benar-benar antusias. Walaupun cuaca cukup dingin, sekitar minus 10 derajat Celsius, tak menyurutkan massa yang mayoritas kulit putih, untuk hadir di arena stadium yang berkapasitas sekitar 30 ribu jiwa itu. Untunglah malam ini salju tak turun, sehingga penderitaan kami tak bertambah. Sekalipun dinginnya angin tetap terasa menusuk tulang, setidaknya kami tak kena siraman salju. Dan massa pun tetap antri dengan tertib dibantu oleh para relawan yang berjejer di sepanjang jalan masuk stadion.

Menariknya, relawan di sini tak mengenal batas umur. Bahkan anak-anak seumuran kelas IV SD sudah ikut terlibat aktif bersama orang tuanya. Para senior citizen yang kalau di Indonesia mungkin sudah masuk panti jompo, kira-kira umur di atas 65 tahun, juga sama antusiasnya. Mereka menyapa massa, mendatanya, mengatur barisan antrian dan mengingatkan massa agar mempersiapkan diri menghadapi pemeriksaan ketat ketika ketika nanti masuk pintu stadion.
Pengamanan event kampanye ini memang sangat ketat. Selain polisi-polisi lokal, puluhan polisi federal atau FBI pun diterjunkan. Anjing-anjing pelacak disebar di seputar stadion dan pintu masuk untuk mengendus hal-hal yang mencurigakan. Bahkan detector metal standar bandara-bandara Amerika di pasang. Tak tanggung-tanggung, petugas pemeriksa pun berasal dari TSA (Transportation Security Administration), badan pemeriksa transportasi yang biasanya ditempatkan di pintu-pintu masuk bandara dan pelabuhan Amerika. Mereka melakukan prosedur pemeriksaan persis ketika kita di masuk bandara. Tas, kamera, handphone, dipindai secara cermat. Pengunjung diminta lewat sensor logam. Petugas TSA akan memicingkan mata dan memeriksa ulang secara personal ketika alarm detector berbunyi.

Saya pun sempat kena penggeledahan khusus. Entah mengapa, ketika lewat sensor logam setelah satu jam lamanya saya mengantri, tiba-tiba saja terdengar bunyi alarm. Karuan saja saya langsung dibawa oleh petugas TSA ke bagian khusus untuk digeledah. Persis seperti ketika kunjungan tahun lalu ketika saya singgah di berbagai bandara AS (San Fransisco, Minneapolis, Washington DC, New York, Seattle, Springfield, Chicago, dan Florida) pasti selalu kena tanda "SSS" di tiket pesawat dan harus melalui penggeledahan detil. Padahal saat itu berangkat sebagai undangan resmi Department of State. Saya pun mempunyai "surat sakti" dari otoritas mereka untuk itu. Namun semua embel-embel dan surat itu hanya macan ompong di hadapan TSA. Atas nama keamanan, seluruh orang atau bangsa yang dianggap mencurigakan wajib digeledah ulang.

Petugas perempuan TSA yang sudah berumur itu pun meminta saya melepas sepatu, jaket, dan mengeluarkan semua barang-barang yang ada di kantong. Tak ada barang mencurigakan. Hanya notes, pulpen, kamera dan obat-obatan. Tak puas dengan itu, saya diminta membentangkan tangan, memastikan tak ada bagian yang terlewat untuk diperiksa.
Anjing pelacak di depan mulai bereaksi. Wuih, saya sempat bergidik dan gugup lantaran anjing itu agaknya diperintahkan untuk mengendus seluruh badan saya. Benar saja, dalam sekejap mata, anjing besar itu langsung menerima instruksi dari petugas lainnya untuk mengendus dada.
Wah! Saya terkejut luar biasa. Benar-benar gugup. Sampai-sampai tak menghiraukan instruksi petugas untuk memeriksa bagian lainnya.
"Are you speaking English, Sir?" tanyanya dengan sedikit ketus ketika tahu saya tak bereaksi atas instruksinya.
"Yes, I do."
"So, please do what I said!"

[ Bersambung.... ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah mampir...