10 November 2011

Selamat Jalan Pak Tujimo

"Innalillahi wa innalillahi rojiun, telah berpulang guru matamatika smp ku, bpk TUJIMO, Semoga Alloh mengampuni segala khilaf dan menerima amal ibadahnya, ditempatkan di sisiNya, amien," tulis Bety, teman SMP-ku di status facebooknya. Kalau bukan karena 'cawelan' Omi, status Bety pasti takkan terbaca olehku karena terkubur di bawah ribuan status yang lain. Thanks, Omi.

Tiba-tiba anganku melayang ke medio 1983, ketika kakiku melangkah ke ruang kelas baruku, Kelas 1D di SMP Negeri Wonopringgo atau SMP Wopi nama gaulnya. Baru saja euforia merasuki jiwaku karena berhasil diterima di sekolah favorit. Maklum, waktu itu SMP Wopi-lah satu-satunya SMP favorit se-kabupaten Pekalongan. Jadi siapa pun yang berhasil lolos seleksinya pasti akan merasa bangga bukan kepalang. Dari SD-ku hanya beberapa orang yang berhasil lolos. Dan kini aku 'terbuang' di kelas paling ujung selatan ini. Karena tidak ada teman dari SD yang sekelas, maka sebagai bekal di 'dunia baru' ini aku hanya menghafalkan nama wali kelasku saja.

Beberapa menit berlalu sejak bel tanda masuk berbunyi. Namun tak kunjung kelasku dihampiri oleh sang wali kelas. Ada apa gerangan? Sementara tiga kelas paralel lainnya telah asyik berkenalan dengan wali kelas barunya. Tapi, tunggu dulu... kelihatannya ada seorang guru laki-laki dengan garis alis tegas menuju ke kelasku. Teman-teman yang sedari tadi gaduh mendadak berlarian ke tempat duduknya dan mengambil sikap 'duduk manis' semanis-manisnya. Hm... orang ini ampuh juga, batinku. Siapa dia?

"Selamat pagi, anak-anak," sapanya membuka kelas.
"Selamat pagi, Pak Guruuu...," serempak kami koor menjawab salamnya.
"Berhubung Ibu Nisfu Laila, wali kelas kalian, saat ini sedang cuti melahirkan, maka untuk sementara saya yang menggantikan. Ada yang sudah tahu nama saya?" tanya beliau sebelum memperkenalkan diri.
Aku dan beberapa temanku diam, karena memang belum kenal nama beliau. Sementara beberapa yang sudah tahu menjawab malu-malu.
"Ya? Ada yang tahu?" ulang beliau memastikan.
"Pak Tujimo," kata sebuah suara dari arah belakang, lirih. Mungkin ragu, mungkin juga takut.

Oh, ini tho orangnya. Pantas saja tadi teman-temanku mendadak anteng. Siapa orangnya di seantero SMP Wopi yang tak kenal 'reputasi' pak Tujimo. Aku juga sebenarnya telah 'mengantongi' data tentang beliau dari kakakku (yang saat itu kelas 3). Apalagi kalau bukan karena kegalakannya.

"Ooh... Pak Telulas..." tanpa sadar mulutku bergumam.
Tidak tahu dari mana idenya, tiba-tiba reflekku menjumlahkan angka-angka yang tersirat dari nama beliau. Dan sialnya, gumamanku tadi terdengar oleh beliau! Bagaimana tidak mendengar, lha wong tempat dudukku persis di depan meja guru, ditambah lagi waktu itu beliau berdiri tepat di depan mejaku.

"Apa kamu bilang?" bentaknya tiba-tiba, hingga membuyarkan otakku
Aku jengkel pada diriku sendiri, hari pertama sudah membuat masalah. Dengan guru tergalak pula. Oh my God! Bencana apa yang akan menimpaku kini?
"Pak Telulas..." terpaksa kujawab, pelan sekali.
"Apa? Coba ulangi!"
"Pak Telulas," dengan segenap perasaan bersalah, sedikit kukeraskan suaraku. Tercekat
"Siapa namamu?" tanya beliau setengah membentak.
"Nurhadi, Pak."

Kemudian meluncurlah wejangan beliau bak senapan mitraliur. Kutekuk mukaku karena malu. Malu sebagai anak baru yang tak tahu sopan santun, mengata-ngatain gurunya dengan label 'sak enak wudele dewe'. Juga malu pada teman-teman sekelas yang kuyakin, semuanya memfokuskan pandang ke arahku. "Kewanen!" mungkin begitu batin mereka. Mbuh lah, pasrah saja.

"Kamu mau, kalau dipanggil Srengenge?" tanya beliau lagi.
"Mau, Pak," terpaksa nih. Tidak mungkin kujawab 'tidak mau' kan?
"Oo, lha wong edan!" beliau mengakhiri dialognya dengan mangkel.

Tapi untungnya tidak ada adegan kekerasan dalam kelas waktu itu. Alhamdulillah, hanya kata-kata. Karena -mungkin- status kami masih murid baru, belum siap menerima 'hukuman' lebih lanjut. Nggak tahu jika yang keceplosan ini anak kelas 3, habis cok-e, hehe.... Tak urung keringat membasahi seragam biru-putihku yang masih 'bau Cina' itu.

***

Pak Tujimo, kesan pertamaku terhadap dirimu begitu menggoda. Selanjutnya tingkah polah kami semakin menggila. Dalilnya, apalagi kalau bukan karena sikap galakmu. Ini yang membuat kami berontak. Mungkin Pak Tujimo masih ingat, peristiwa "kabur berjama'ah" di suatu siang? Waktu itu kami sudah duduk di kelas 3B, kebetulan jam matematika di posisi 7-8. Entah siapa provokatornya, tiba-tiba sekelas kompak untuk bikin acara "Mathematic Runaway" alias kabur pada jam Bapak. Kecuali dua orang, anak cowok "I" dan cewek "J". Bapak tahu tidak, apa yang kami lakukan? Woi, kami nyuci tenda rame-rame, Pak. Bendungan kali Kletak menjadi saksi kebinalan kami. Sepertinya asyik sekali siang itu. Kami gotong royong membersihkan tenda yang beberapa hari lalu habis dipakai kemah. Dan, satu perasaan yang paling melegakan adalah: lepas dari muka seram Bapak! Gila nggak tuh?

Akhirnya Bapak lampiaskan 'rasa cinta' Bapak pada kami, Senin berikutnya. Para pembolos itu dijemur rame-rame, sembari membersihkan lapangan sekolah. Terima kasih, Pak Jimo, hukuman ini sebenarnya pantas kami terima. Maafkan kelakuan kami ya Pak...

Kini, kau telah kembali menghadap Ilahi Robbi. Sekali lagi, maafkan kesalahan kami Pak Jimo. Selamat jalan, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosamu dan membalas amal sholihmu. Semoga keluargamu tabah menghadapi mushibah ini dan Allah SWT berkenan menggantikan dengan yang lebih baik. Amin...

----------------
Update [12/11]
Ada ralat oleh Siti Hanah: personel yang tidak kompak "kabur berjama'ah" ternyata 3: cowok 'S', dan dua cewek 'J' dan 'N' [iya benar, maksudku 'S', bukan 'I' tapi... siapa 'N' ini ya? aku lupa]